Masalah Pornografi dan Pornoaksi di Indonesia dilihat dari Sisi Public Problem dan Policy Problem

Seiring dengan perkembangan zaman, masalah pornografi dan pornoaksi semakin berkembang pula. Media yang dipakai untuk menyampaikannya pun sudah memakai teknologi tingkat tinggi. Oleh karena itu, kita tidak dapat menganggap masalah ini dengan sebelah mata saja. Apabila masalah ini dibiarkan berlarut-larut tanpa ada tindakan yang nyata dari pemerintah bersama-sama dengan masyarakatnya itu sendiri, maka moral bangsa ini tidak tahulah harus dibawa ke mana. Sudah sepuluh tahun terakhir ini, pemerintah merancang Undang-undang tentang Anti Pornografi dan Pornoaksi. Mengapa begitu lama dalam menyusun undang-undang ini? Hal ini disebabkan begitu sulitnya pemerintah menetapkan batas-batas mana yang termasuk tindakan prnografi dan pornoaksi dan mana yang bukan. Selain itu ada pula segelintir pihak, yang mungkin membawa muatan politis..1), yang menolak undang-undang ini dengan beralasan undang-undang ini dapat menghambat kebebasan orang lain untuk berekspresi. Sebenarnya separah apakah masalah pornografi dan pornoaksi ini di Indonesia sehingga pemerintah harus turun tangan? Lalu bagaimanakah masalah pornografi dan pornoaksi ini dapat diatur dalam undang-undang? Apakah pemerintah menyusun undang-undang ini tanpa didasari dengan pertimbangan khusus? Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Demo untuk segera diberlakukannya RUU APP:


Pornografi itu sendiri memiliki berbagai macam definisi serta batasan yang berbeda-beda. Pada tahun 1970-an misalnya, menampakkan paha dan belahan dada saja sudah dianggap porno. Namun sekarang, jika seseorang menampakkan pusarnya bahkan berpose telanjang, hal tersebut dianggap sebagai model bahkan dianggap sebagai salah satu bentuk seni bercita rasa tinggi. Masalah pendefinisian inilah yang sering menimbulkan perdebatan di antara elemen masyarakat..2). Terlebih lagi, adanya perbedaan budaya antara satu daerah dengan daerah lainnya. Sebut saja Papua dengan kotekanya yang menampilkan hampir seluruh tubuh si pemakainya atau Yogyakarta dengan pakaian tarinya yang menunjukkan lekuk tubuh penarinya secara jelas dan sebagainya. Dalam Rancangan Undang-undang tentang Anti Pornografi dan Pornoaksi Bab I Pasal 1 ayat 1 dan 2, yang dimaksud dengan pornografi adalah substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/ atau erotika. Sedangkan yang dimaksud dengan pornoaksi adalah perbuatan mengeksploitasi, kecabulan dan/ atau erotika di muka umum.

Pornografi dan pornoaksi di Indonesia semakin tidak bisa dibiarkan. Masalah ini menyangkut perusakan moral dan sikap bangsa ini yang akan datang. Pornografi dan pornoaksi ditayangkan dengan gamblang di stasiun-stasiun televisi. Perfilman Indonesia pun semakin ke sini semakin mengandung tindakan sejenis, sebut saja film “Radit dan Jani”, “Drop Out”, “Buruan Cium Gue”, dan film lainnya yang membuat gerah siapa saja yang menontonnya. Media internet pun tidak ketinggalan turut menyemarakkan penyebaran pornografi dan pornoaksi ini. Begitu mudahnya seseorang, tidak peduli anak-anak atau orang dewasa, dapat mengakses situs-situs yang bermuatan pornografi dan pornoaksi. Tidak sedikit kalangan yang menganggap karena pornografi dan pornoaksi inilah beberapa orang dapat melakukan tindakan pemerkosaan dan pencabulan. Oleh karena itu, masalah ini tidak dapat dibiarkan begitu saja. Pemerintah dan masyarakat harus bantu membantu dalam menanggulanginya.

Pemerintah tidak sekonyong-konyong saja membuat undang-undang yang mengatur tentang masalah pornografi dan pornoaksi ini. Menurut Irfan Islamy, dalam tahap proses kebijakan haruslah dimulai dengan perumusan masalah kebijakan negara. Pengertian kebijakan adalah semacam jawaban terhadap suatu masalah, merupakan upaya untuk memecahkan, mengurangi, mencegah suatu masalah melalui cara tertentu yaitu dengan tindakan-tindakan yang terarah..3). Masalah-masalah ini dibagi menjadi tiga masalah, yaitu private problem (masalah-masalah yang mempunyai akibat yang terbatas, atau hanya menyangkut pada satu atau sejumlah kecil orang yang terlibat secara langsung), public problem (masalah-masalah yang mempunyai akibat lebih luas termasuk akibat-akibat yang mengenai orang-orang yang secara tidak langsung terlibat) , dan policy problem (masalah-masalah ditangani dengan solusi yang berbeda-beda dari kalangan masyarakat, masalah ini dampaknya semakin fatal)..4) . Tidak semua masalah dalam masyarakat dapat menjadi public problem. Disebut public problem apabila masalah tersebut tidak dapat diatasi secara privat. Untuk menjadi policy problem, suatu public problem perlu diperjuangkan untuk bisa ditanggapai oleh pembuat kebijakan..5).

Dalam masalah pornografi dan pornoaksi ini, tidak dapat lagi disebut sebagai private problem. Mengapa demikian? Karena akibat atau dampak yang ditimbulkan masalah pornografi dan pornoaksi tidak lagi terbatas dan tidak lagi menyangkut pada sejumlah kecil orang secara langsung. Memang pada awalnya mungkin hanya sebagian orang saja yang terganggu dengan adanya masalah pornografi dan pornoaksi ini. Sebut saja sebuah keluarga (sejumlah kecil orang secara langsung) yang memiliki anak kecil (dampaknya terbatas pada anak kecil saja) yang khawatir dengan dampak psikologis anaknya setelah anaknya tersebut terbiasa melihat gambar-gambar porno. Lalu lama kelamaan dampak dari masalah ini mulai parah.

Beralihlah dari private problem menjadi public problem. Hal ini disebabkan akibat atau dampak yang dialami lebih luas dan mengenai orang-orang yang secara tidak langsung terlibat. Dampak pornografi dan pornoaksi ini tidak hanya mengenai anak kecil saja (mereka akan sulit berkonsentrasi dalam pelajaran sekolahnya, misal setelah melihat gambar-gambar porno melalui media internet) tetapi juga pada orang dewasa (dapat melakukan tindakan pemerkosaan untuk memenuhi hawa nafsunya, misal setelah menonton film-film beradegan syur). Hal ini tentulah merugikan orang lain di sekitarnya. Masalah ini tidak lagi menyangkut sejumlah kecil orang (misal keluarga) tetapi sudah menyangkut lingkungan sekitar dan kehidupan bermasyarakat. Masalah ini tidak lagi merugikan satu kelompok saja (hanya keluarga yang merasa dipermalukan) tetapi juga lingkungan mana orang tersebut (yang melakukan tindakan pornografi dan pornoaksi) berasal. Dikarenakan dampaknya yang semakin fatal, status masalah pornografi dan pornoaksi ini tidak diam di tempat sebagai public problem, tetapi sudah beralih lagi menjadi policy problem.

Telah disebutkan sebelumnya bahwa untuk menjadi policy problem, suatu public problem perlu diperjuangkan untuk bisa ditanggapi oleh pembuat kebijakan. Public problem dapat beralih menjadi policy problem apabila public problem tersebut dapat membangkitkan orang banyak untuk melakukan tidakan terhadap problem-problem itu. Masyarakat mempunyai “political will” untuk memperjuangkan problem tersebut menjadi policy problem. Setelah itu problem tersebut ditanggapi positif oleh pengambil kebijakan dan bersedia memperjuangkan problem tersebut menjadi policy problem. Lalu memasukkannya dalam agenda pemerintah serta mengusahakannya menjadi policy problem..6).

Hal inilah yang terjadi pada masalah pornografi dan pornoaksi. Dikarenakan semakin parahnya dampak yang dirasakan, berbagai elemen masyarakat merasa perlu untuk dibuat suatu peraturan yang menangani masalah pornografi dan pornoaksi ini. Terdengarlah masalah ini sampai Gedung DPR. Sebagian dewan terhormat itu pun merasakan perlu dibuatnya undang-undang tentang masalah ini, walau sebagian lainnya bersikeras menolaknya. Lalu sebagian anggota DPR itu mulai merumuskan undang-undang yang dianggap tepat untuk menangani masalah ini. Telah disebutkan sebelumnya bahwa sampai saat ini pun, undang-undang tersebut belum disahkan walau sudah bertahun-tahun disusun.

Para wakil rakyat sedang membicarakan tentang pengesahan RUU APP ini


Berikut kutipan dalam Rancangan Undang-undang tentang Anti Pornografi dan Pornoaksi Bab I Pasal 2 tentang Asas Anti Pornografi dan pornoaksi,

“Pelarangan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi serta perbuatan dan penyelenggaraan pornoaksi berasaskan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan memperhatikan nilai-nilai budaya, susila, dan moral, keadilan, perundungan hukum, dan kepastian hukum.”


Dalam pengimplementasiannya nanti (jika RUU tersebut berhasil disahkan), akan dibentuk Badan Anti Pornografi dan Pornoaksi Nasional yang selanjutnya akan disingkat dengan BAPPN. Pembentukan badan ini sesuai dengan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi Bab IV pasal 40 ayat 1. BAPPN ini merupakan lembaga non-struktural yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Salah satu tugasnya yaitu mengkoordinasi instansi pemerintah dan badan lain terkat penyiapan, penyusunan, dan pelaksanaan kebijakan pencegahan dan penanggulangan masalah pornografi dan/ atau pornoaksi. Selain itu BAPPN juga bertugas melakukukan pemutusan jaringan pembuatan, dan penyebarluasan barang pornografi,jasa pornografi, dan jasa pornoaksi, dan tugas lainnya.

RUU ini sudah terlihat apik dan pas untuk diterapkan, namun sayangnya banyak pihak yang sangat menolak RUU ini dengan seribu saatu alasannya. Sebenarnya selain peran pemerintah dalam menangani masalah pornografi dan pornoaksi, peran masyarakat juga turut diperlukan. Dalam RUU itu pun, peran masyarakat juga disebutkan sesuai dengan Bab V pasal 1 dan 2. Masyakarat sangat diperlukan untuk membantu pemerintah mengawasi jalannya undang-undang ini nantinya. Masyarakat berhak untuk mendapatkan informasi, edukasi, dan advokasi terkait dengan masalah ini. Mereka juga berhak untuk melakukan gugatan terhadap seorang atau sekelompok orang yang diduga melakukan tindakan pornografi dan pornoaksi. Namun diharapkan dengan adanya hak ini, masyarakat tidak sewenang-wenang main hakim sendiri untuk menentukan perbuatan mana yang melanggar undang-undang ini atau tidak. Dengan adanya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat, diharapkan masalah pornografi dan pornoaksi ini dapat tertangani dengan baik. Semoga saja moral bangsa Indonesia yang semakin memburuk sedikit demi sedikit ini dapat dipulihkan.

Footnote:
..1) Prof. Dr. Abdullah Syah, MA. http://detikislam.com/2008/09/24/indonesia-teladani-penerapan-uu-anti-pornografi/
..2)http://beritasore.com/2008/09/23/uu-pornografi-positif/
..3)Hoogerwerf. Ilmu Pemerintahan. Hal.4
..4)Joko Widodo. Pemahaman Masalah Kebijakan Badan Diklat Propinsi Jawa Timur 2007-200. Slide 20
..5)http://www.skripsi-tesis.com/07/27/pengaruh-motivasi-dan-kepemimpinan-camat-terhadap-semangat-kerja-pegawai-kantor-kecamatan-gondokusuman-yogyakarta-pdf-doc.htm
..6)Joko Widodo. Pemahaman Masalah Kebijakan Badan Diklat Propinsi JawaTimur 2007-2008. Slide 12

* Di atas adalah tugas mata kuliah Kebijakan Publik saya. Mohon maaf bila ada kata-kata yang salah atau kurang berkenan.

0 komentar:

Posting Komentar

Photobucket