Banjir Yang Jarang Di-Update

Assalamualaikum Wr. Wb..

Untuk kesekian kalinya, saya mohon maaf atas jarang di-update-nya blog saya ini. Bukan salah bunda mengandung, atau salah kandungan bunda (apaan siy??), tapi ini salah saya sendiri, tepatnya kegiatan saya yang menguras tiga perempat hidup saya (berlebihan memang!). Padahal saya ga ikutan organisasi seperti si Djawa (lagi-lagi djawa!) yang berpangkat Koordinator Akhwat Mentari di Salam-UI (rohisnya UI) atau seperti Gema yang sibuk berkampanye Partai Kita Semua! Bukan, bukan karena kegiatan di luar kuliah, tapi di dalam kuliah. Pokoknya heboh daah, yaaa semuanya demi mencapai target IP 3,5 (ketauan deh obsesi gw,haha..). Oleh karena itu, mohon maaf kalau pesan-pesan di shoutbox kelamaan saya balas, kelamaan saya blogwalking-in balik, kelamaan saya tukeran link atau bannernya, pokoknya kelamaan-kelamaan lainnya. Naah, sekarang saya akan mulai menceracau lagi, yaa lagi-lagi tentang banjir. Lagi?? Iya, lagi! Bagi yang belum baca postingan saya sebelumnya tentang banjir, silahkan klik di sini..

Hari itu tanggal 23 Maret, 2009 tepatnya. Lebih tepatnya lagi, itu hari ulang tahun ayah saya. Hari Minggu. Seperti biasa, hari Minggu saya sekeluarga isi dengan kegiatan "bersih-bersih rumah", ada yang bersihin lantai (baca: nyapu, ngepel), ada yang bersihin baju (baca: nyuci, nyetrika baju), dan ada yang "bersihin" dapur (baca: masak). Kebetulan saya kedapetan jatah yang pertama. Ironis memang, menyapu dan mengepel hanya seminggu sekali, huahaha.. Yaah, tak apalah, tak ada asisten rumah tangga, tuan rumah pun turun tangan. Kelar "beberes" rumah, tak ada yang lebih enak daripada berleha-leha di kamar, di siang hari yang mendung itu. Sangat mendung tepatnya. Walaupun tak selamanya mendung itu hujan, saya yakin pasti nanti akan hujan (heh?). Dan benarlah, hujan turun dengan riangnya. Terlalu riang.

Rasa waswas mulai merayap. Berkali-kali bolak-balik melihat ketinggian air di jalan depan rumah. Berkali-kali menghubungi ibu saya yang kebetulan berada di tempat service motor. Berkali-kali pula mengucap "Astagfirullah, Subhanallah..". Untungnya saya di rumah tidak sendirian, melainkan bersama kakak saya, sehingga ada teman untuk diajak susah dan berteriak-teriak (haha). Rutinitas kami pun dimulai, yaitu mengeluarkan barang-barang yang ada di bawah lemari pakaian, mencabut colokan kulkas, menyelamatkan kipas angin, serta mengangkut apa saja yang bisa diangkut (heh?). Lalu mengalirlah air banjir berwarna kecokelatan itu, masuk ke dalam rumah saya. Benar-benar tamu yang tak diundang.




Seandainya saja saya bisa melarang air banjir masuk. Dengan cara memajang papan di depan rumah bertuliskan "Air Banjir DILARANG MASUK". Tentu saja sudah saya terapkan sejak dulu. Tapi tentu saja itu hanya imajinasi liar belaka. Beginilah nasib kami (saya dan keluarga) sejak bertahun-tahun yang lalu. Banjir selalu bertandang, meramaikan rumah, tepatnya komplek kami, hampir setiap tahunnya. Bukan karena meluapnya air dari sungai atau kali. Tapi karena letak komplek kami yang kebetulan memang agak rendah daripada komplek lainnya, serta ada saluran di ujung komplek yang agak tersumbat dikarenakan di atas gorong-gorong tersebut didirikan rumah. Ingin rasanya saya beramai-ramai bersama warga komplek menggusur rumah-rumah itu. Tak mungkin lah, karena ternyata mereka minta ganti rugi. Laah, wong mereka yang salah eeh malah minta uang.



Setelah semua air resmi masuk rumah, alias hujan mulai berhenti dan ketinggian air di depan rumah sudah mulai menyurut, saatnyalah kami bahu membahu membersihkan rumah. Naasnya, rumah saya berbentuk seperti kolam di tengah-tengahnya, di sisi kanan-kiri rumah agak tinggi, sedangkan di tengahnya rendah. Pastilah air tersebut mengobak dengan indahnya, persis seperti kolam renang untuk anak kecil. Di sinilah titik puncaknya. Bayangkan saja, kami harus menguras kolam renang anak kecil tersebut secepat mungkin, karena tidak mungkin kami biarkan semalaman. Namun, berkat teknologi yang sudah canggih, alias pompa penyedot air, kami mampu melakukannya. Tanpa harus menggunakan cara tradisional: menyeroknya dengan ember lalu membuangnya keluar rumah, yang sudah pasti beratus-ratus kali ember itu menyerok air. Bala bantuan pun datang, pacar saya (si Kbo) dan pacar kakak saya, Mas Ricky.


Namun, saya sadari. Penderitaan kami sekeluarga itu belum seberapa. Masih banyak janda-janda tua.... lho?? Maksudnya, masih banyak rumah keluarga lain yang terendam banjir lebih parah, bukan hanya sebetis namun tiga meter juga dapat dilampaui. Terlebih lagi kejadian di Situ Gintung. Ludes-des-des ga tersisa rumahnya, bahkan yang punya rumahnya! Mudah-mudahan kami sekomplek selalu diberi kesabaran menghadapi musibah kecil yang ga seberapa jika dibandingkan di luar sana. Semoga rumah kami ga banjir lagi. Walau sulit untuk diwujudkan. Saya hanya ingin, anak cucu saya nanti tidak perlu capek-capek, lelah-lelah harus menyerok air banjir. Jangan sampai mereka menanggung kesalahan kakek nenek mereka dalam menentukan tempat tinggal, huahaha..

3 komentar:

nyubi mengatakan...

wah,,,wah,,,banjir eah mbak
klo di riau mah masih panas nih
malahan kebkaran hutan,,,
salam kenal mbak

Danisha Dalam Blog mengatakan...

@Nyubi:
wuah-wauah,,kita berkebalikan yaa,,
ayo-ayo ke Depok,,biar bisa ngerasain banjir,,
hehe :D

dessy mengatakan...

ikut prihatin deeh... pasti ribet bersih2nya yaak :P
alhamdulillah tahun ini ga kebanjiran... kynya udah cukup deh 2 kali kena banjir 1.5 m

Posting Komentar

Photobucket